Dua anak bergandengan tangan di depan puing-puing sekolah mereka di Gaza, Palestina.
Dua anak bergandengan tangan di depan puing-puing sekolah mereka di Gaza, Palestina.

Foto Aylan Kurdi, yang menjadi viral pekan lalu, membuka mata dunia atas masalah kemanusiaan akibat konflik di Timur Tengah dan Afrika Utara. Aylan adalah satu di antara jutaan anak yang menjadi korban atas konflik berkepanjangan di kawasan itu.

Pekan lalu (2/9/2015), UNICEF merilis laporan yang fokus menyoroti dampak kekerasan terhadap anak-anak usia sekolah dan sistem pendidikan di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.

Laporan bertajuk Education Under Fire ini berdasar pada penelitian di sembilan negara --terdampak konflik, langsung maupun tidak-- sejak tahun 2011.

Riset UNICEF menemukan, sekitar 13,7 juta anak-anak tidak bisa bersekolah akibat konflik di kawasan itu. Hampir 9 ribu sekolah tidak bisa beroperasi akibat ketidakstabilan politik dan konflik bersenjata di Suriah, Iraq, Yemen, dan Libya.

"Ini bukan sekadar kerusakan fisik yang menimpa sekolah-sekolah. Namun juga soal rasa putus asa yang dirasakan anak usia sekolah, saat melihat harapan dan masa depan mereka hancur," kata Direktur Regional UNICEF di Timur Tengah dan Afrika Utara, Peter Salama, dalam rilis lembaga PBB itu.

Angka 13,7 juta anak ini, mewakili 40 persen dari total populasi anak usia sekolah di Suriah, Irak, Yaman, Libya dan Sudan. UNICEF pun khawatir bahwa persentase akan mencapai 50 persen dalam beberapa bulan mendatang.

Berikut temuan penting dalam laporan UNICEF ini:

  • Satu dari empat sekolah yang ada di Suriah tidak bisa digunakan. Konflik berkepanjangan di Suriah (sejak 2011), telah membuat jutaan warga mengungsi. Lebih dari 700 ribu anak-anak pengungsi Suriah di Yordania, Lebanon dan Turki tidak bisa bersekolah. Antara lain, disebabkan infrastruktur negara penampung tidak sanggup menampung ledakan populasi siswa.
  • Di Irak, 950.000 anak-anak usia sekolah terdampak konflik. Di wilayah itu, sekitar 1.200 bangunan sekolah telah beralih fungsi menjadi tempat penampungan pengungsi.
  • Konflik di Yaman, menyebabkan 1,8 juta anak terhambat aksesnya ke sekolah. Lebih dari 3.500 sekolah ---sekitar seperempat dari total--- telah ditutup.
  • Perang di Libya pada tahun 2011 mengakibatkan gangguan berkepanjangan pada sistem pendidikan. Sejak 2014, banyak pengungsi pulang. Namun lebih dari setengah pengungsi yang kembali melaporkan bahwa ana-anak mereka tidak bisa bersekolah.
  • Sejak Desember 2013, Sudan menampung sekitar 50 ribu anak-anak usia sekolah yang melarikan diri dari konflik di Sudan Selatan. Hanya sepertiga dari mereka yang bisa mendapatkan pendidikan.

Dalam wawancara dengan The New York Times, Peter Salama turut menyorot masalah lain yang muncul saat anak-anak tidak bersekolah.

Mereka kerap dieksploitasi dalam pekerjaan berbahaya. Ia juga meyinggung soal meningkatnya perekrutan anak-anak dalam organisasi militer dan paramiliter.

"Kita berada di batasan (ancaman) atas hilangnya sebuah generasi," kata Salama.

UNICEF juga telah mengajukan sejumlah solusi atas masalah ini. Mulai dari kampanye "kembali bersekolah", membangun ruang belajar, hingga menyiapkan model pembelajaran elektronik.

Mereka membutuhkan sekitar USD300 juta (sekitar Rp4,3 triliun) untuk tanggap darurat pendidikan di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.

#EducationUnderFire



from Google Newsstand RSS Beritagar.id http://ift.tt/1hTfv9R
via Hatree Indonesia

Posting Komentar

Posting Komentar