11 indikator krisis ekonomi

Bagikan di Facebook

Bagikan di Twitter

Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) selama sepekan yang tidak begitu cemerlang, memunculkan kekhawatiran masyarakat bahwa krisis ekonomi 1998 dan 2008 akan terulang.

Meski mengakui ekonomi sedang memburuk, namun Pemerintah kerap meyakinkan bahwa kita tidak sedang menuju krisis ekonomi layaknya tahun 1998 dan 2008 karena saat ini fundamental yang kita miliki jauh lebih baik.

Lantas, apa saja sebenarnya tanda-tanda krisis ekonomi yang bisa kita waspadai?

Untuk mengukur tanda-tanda tersebut, mari kita bandingkan kondisi ekonomi kita di tahun 1998, 2008 dan saat ini melalui 11 indikator berikut ini:  

Tabel indikator krisis ekonomi

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo seperti yang dikutip Kompas.com, memaparkan salah satu tanda yang paling jelas adalah ketika pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,8 persen menurun jadi 3,5 persen, lalu jadi 3,3 persen.

"Itu terlalu rendah dan membawa dampak kepada Indonesia," kata Agus, di Kantor Bank Indonesia, Kamis (27/8/2015). 

Pelemahan ekonomi global berdampak pada jatuhnya harga komoditas sumber daya alam (SDA).

Indonesia merupakan salah satu negara dengan neraca perdagangan yang sangat tergantung pada harga komoditas SDA. Seperti diketahui, harga barang ekspor andalan Indonesia, yaitu batubara dan minyak kelapa sawit (CPO), saat ini sedang jatuh.

"Dibandingkan 2 tahun lalu atau tahun lalu, sekarang ini secara fundamental (Indonesia) lebih baik. Yang disebut fundamental ekonomi itu apa? Inflasi, capital inflow, bagaimana neraca perdagangan. Misal, kita punya inflasi akan mengarah ke 4 persen, sebelumnya 8 persen. Kita punya transaksi berjalan tinggal defisit 2,1 persen, sebelumnya 4,2 persen. Jadi, ada perbaikan. Neraca perdagangan tahun lalu, dari defisit, sekarang dari Januari 2015 sudah surplus," kata dia.

Senada dengan Agus, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio juga menilai bahwa fundamental perekonomian Indonesia masih kokoh.

"Kalau fundamental bagus, tetapi saham turun secara cepat dalam seminggu ini bisa kita katakan krisis. Yuan mengalami devaluasi, karena pemerintah China ingin meningkatkan daya saing ekspor. Itu tanda krisis," katanya kepada wartawan Kamis (27/8/2015), seperti yang dikutip Bareksa.com.

Akan tetapi, dia memaparkan sejumlah indikator lain menunjukkan kondisi Indonesia sekarang masih lebih baik daripada dua krisis sebelumnya, yaitu pada 1998 dan 2008. Pada 1998, krisis diawali terjungkalnya mata uang Thailand yang lalu menjalar hingga merontokkan perbankan. Adapun di tahun 2008, krisis dipicu oleh skandal sub-prime mortgage di AS yang membuat pasar modal di berbagai belahan dunia kolaps.

Menghadapi tekanan pada IHSG, regulator segera mengambil kebijakan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 21 Agustus mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan emiten membeli kembali saham di pasar (buyback) tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dulu.

Kebijakan itu dipercaya dapat menjaga harga saham emiten dari kejatuhan lebih dalam.

Di sisi lain, seperti yang dikutip Tempo.co, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memperingatkan semua pihak untuk terus waspada akan segala kejutan yang muncul pada ekonomi global. 

Kondisi waspada menggambarkan dua hal. Pertama adalah menyadarkan semua pihak bahwa kondisi saat ini tak mudah. Di sisi lain, tetap memberikan semangat bahwa masih ada jalan keluar. 

Bambang mengatakan saat ini Indonesia dihadapkan dengan kondisi global yang berbeda dibandingkan dengan krisis 1998. Saat ini, ekonomi global punya pola baru, yakni pemberian stimulus ekonomi. 

Ekonomi dunia, kata dia, dipaksa cepat dan besar dengan stimulus moneter. Pola ini dimulai dengan Amerika Serikat lalu diikuti Jepang dan Eropa. "Padahal itu sifatnya jangka pendek dan vulnerable," katanya di Hotel Dharmawangsa, Jakarta

from Google Newsstand RSS 360 http://ift.tt/1U9Xwxv
via Hatree Indonesia